Monday, December 24, 2012

ILMU DAN KEHIDUPAN: Hukum Mengucapkan Selamat Natal

ILMU DAN KEHIDUPAN: Hukum Mengucapkan Selamat Natal

Sunday, November 30, 2008

Ibnu Hajar; Tokoh yang Bersahaja

Ibnu Hajar; Tokoh yang Bersahaja
dengan Jarh wa Ta`dîl-nya
Oleh: Abdullah Munif

Pendahuluan
Mempelajari seorang tokoh dalam sebuah disiplin ilmu memiliki nilai tersendiri, karena berkaitan langsung dengan keilmuan tersebut. Terutama ilmu hadits, dengan segala lika liku yang dilewati oleh seorang tokoh tentunya akan menjadi ibroh bagi kita. Betapa susahnya mereka mencari kebenaran yang hakiki, demi menjaga ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Saw.. Mereka berusaha keras tanpa mengenal lelah kesana kemari hanya untuk mendengarkan sebuah hadits dari seorang ulama. Tidak berhenti disitu saja, mereka terus mengkaji dan mendalami sampai mereka benar-benar mampu menguasai disiplin ilmu tersebut.
Dengan demikian, perjalanan hidup seorang tokoh tak lepas dari yang namanya kitab dan sebuah buku tulis(nama sekarang), karena setelah membaca berbagai kitab yang ada, mereka langsung menuangkan ide-ide baru mereka dalam sebuah tulisan. Begitu juga yang ada dalam jiwa ulama hadits kita, Ibnu Hajar. Dengan ketekunan dan keuletannya, beliau mampu menelurkan karya-karya monumental dalam bidang hadits dan ilmu hadits. Bahkan dengan kepiawiannya beliau menjadi ulama tersohor di zamannya.

Biografi Ibnu Hajar al-Asqolany
Ulama yang bernama Ibnu Hajar ini mempunyai nama laqob Sihabuddin dan kunyah Abu al-Fadhl. Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Ahmad al-Asqolany. Beliau dilahirkan di Mesir pada tanggal 22 Sya`ban 773 H bertepatan dengan 1372 M. Kendatipun ia lahir dan tumbuh di Mesir, namun gelar yang menempel pada dirinya adalah Asqalan, suatu daerah di Palestina. Menurut catatan sejarah nenek moyang, beliau pindah dari Asqolan ke Mesir pada tahun 573 H, yaitu pada waktu kekuasaan Shalahuddin al-Ayyubi. Kepindahan atau lebih tepatnya eksodus warga Asqolan ini dikarenakan takut akan penyerbuan tentara salib. Lebih-lebih pemerintahan Asqalan pada waktu itu tidak mempunyai kekuatan yang memadai untuk menghadang serangan musuh yang nota bene sudah siap dengan peralatan yang jauh lebih canggih.
Dalam usianya yang masih belia, beliau telah menjadi yatim piatu. Semenjak itu, beliau diasuh oleh al-Khoirobi, saudagar kaya Mesir. Dalam asuhan al-Kharubi, Ibnu Hajar kecil dimasukkan pada kuttab (Sekolah al-Qur`an) di waktu umurnya masih lima tahun. Karena ketekunan dan memang mendapatkan anugerah kecerdasan di atas rata-rata, beliau mampu menghafal al-Qur'an pada waktu umur 9 tahun. Sehingga ada yang mengatakan dia menghafal surat Maryam dalam sehari. Dia juga menghafal banyak hadits. Pada tahun 786 H al-Kharubi meninggal ketika pergi bersama Ibnu Hajar ke Mekkah. Dan yang menjadi pengasuh berikutnya adalah Syamsuddin al-Qhatthan, guru Al-quran, fiqih, lughat dan hisab.
Nama Ibnu Hajar bisa diidentikkan dengan hadits. Dan memang ia sangat tertarik mempelajari ilmu hadits (disini penulis akan membahas jarh wa ta`dil saja). Seluruh waktunya dihabiskan untuk mempelajarinya. Lebih khusus lagi dalam majlis kedua gurunya (al-Bulqini dan Ibnu al-Mulqin). Beliau juga menjalin hubungan dengan pemerintah, sehingga beliau banyak mengetahui urusan politik dan kemasyarakatan. Dalam hal ini ia mengarang kitab “Inba' al Ghamr bi Abna' al-Umr” dan kitab “ad-Durar al-Kâminah fi 'Ayan al Mi'ah al Tsâminah”. Alim besar ini sempat juga mengajar di Madrasah al-Syaikhuniyyah di daerah Ibnu Thulun pada tahun 808 H atas perintah Sultan al-Faraj bin al-Barquq. Jabatan ini sangat prestise karena hanya bisa dipegang oleh ulama-ulama besar. Di samping mengajar di Madrasah yang prestise itu ia juga menjadi pengajar di al-Mahmudiyyah yang terkenal akan keindahannya. Setelah tiga tahun menjalani kehidupan mengajar di kedua tempat tersebut sang alim hadis ini pindah ke Madrasah al-Jamaluddin dengan gaji setiap bulannya 300 dirham. Di samping mengajar ia juga mempunyai wewenang dalam berfatwa juga punya jabatan dar al-'adl dan pimpinan penghulu (qodi) madzhab Syafi'i.
Ibnu Hajar termasuk ulama' yang produktif menulis. Karangannya mencapai 150 buah dan masterpiece-nya ialah “Fath al-Bâri fi al-Syarh al-Bukhori”. Buku karangan Ibnu Hajar sangat beragam, mulai dari sejarah, filsafat sampai adab. Dalam kitab “al-Tarajim” ia mampu menuturkan semua tokoh yang mempunyai keutamaan, tidak seorangpun yang terlewatkan dalam bukunya yang cukup popular ini.

Pandangan Ibnu Hajar dalam al-Jarh wa al-Ta`dîl
Ilmu al-Jarh wa al-Ta‘dîl muncul bersamaan dengan munculnya periwayatan di dalam Islam. Karena mengetahui khabar-khabar (riwayat-riwayat) harus lewat para perawinya. Pengetahuan itu dapat memungkinkan seorang ulama untuk ‘menghukumi’, apakah mereka jujur atau berdusta. Sehingga, mereka mampu untuk membedakan riwayat yang dapat diterima (al-maqbûl) dari yang tertolak (al-mardûd). Oleh karena itu, mereka mempertanyakan tentang para perawi, melihat dengan cermat seluruh sisi hidup mereka dan membahasnya – secara kritis – sampai mereka tahu siapa yang paling baik hafalannya (ahfazh) dan paling lama mujâlasah (pergaulan dalam menuntut hadits)nya dari yang paling pendek.
Para perawi yang meriwayatkan hadits bukanlah semuanya dalam satu derajat dalam segi keadilannya dan hafalan mereka. Diantara mereka ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang sempurna, ada pula yang sering lupa serta ada yang berdusta dalam hadits. Maka Allah membuka perbuatannya ini melalui para ulama` yang sempurna pengetahuannya. Oleh karena itu, para ulama` menetapkan tingkatan Jarh wa Ta`dîl, dan lafad yang menunjukkan pada setiap tingkatan, masing-masing ada enam tingkatan, seperti yang ada dalam kitab "Nuzhatun Nadhor" karangan Ibnu Hajar.
Dalam masalah mana yang didahulukan antara Jarh wa Ta`dîl, Ibnu Hajar memilih jika antara Jarh dan Ta`dil ada pertentangan, maka Jarh yang didahulukan, seperti yang disepakati oleh para ulama`. Tapi itu tidak menafikan bahwa pertentangan tersebut harus diselesaikan dengan ada yang paling diunggulkan.
Ibnu Hajar mengatakan dalam kitab "Lisânul Mîzan" bahwasanya, ketika para ulama menemukan perbedaan dalam men-jarh wa ta`dil seseorang maka yang benar adalah tafsîl. Apabila dalam men-jarh seseorang tersebut dengan mentafsirinya secara detail maka diterima. Sebaliknya, apabila tidak bisa dengan jarh maka dengan cara ta`dîl. Adapun orang yang tidak diketahui atau bahkan tidak dikenal kecuali dari perkataan imam hadits bahwasanya itu do`îf, matrûk dan lain sebagainya, maka perkataan itu dikembalikan kepada para imam, dan kita tidak perlu menafsirinya. Artinya, jarh tidak diterima kecuali ada yang menafsirkan bagi orang yang dipertanyakan tsiqoh-nya.
Begitu pentingnya jarh wa ta`dîl membuat para ulama menelurkan karya-karya mereka. Ini terbukti dengan berkembangnya jarh wa ta`dîl pada abad ketiga dan keempat hijriah. Komentar mengenai para tokoh secara jarh wa ta`dîl sudah dikumpulkan. Permulaan penyusunan dalam ilmu ini dinisbatkan kepada Yahya bin Ma`in dan Ahmad bin Hanbal. Setelah generasi tersebut, banyak dari karya-karya ulama yang tetap memasukkan perkataan para generasi awal.
Diantara karya-karya mereka yang sampai kepada kita:
1. Kitab Ma’rifatur-Rijâl, karya Yahya bin Ma’in (wafat tahun 233 H), terdapat sebagian darinya berupa manuskrip.
2. Kitab Adl-Dlu’afâ’ wal-Matrukîn, karya Imam Shmad bin Ali An-Nasa’I (wafat tahun 303 H), telah dicetak di India bersama kitab Adl-Dlu’afâ’ karya Imam Bukhari.
3. Kitab Rijâl al-Bukhari wa Muslim, karya Abu Abdillah Al-hakim An-Naisabury (wafat tahun 404 H); telah dicetak.
4. Kitab Tahdzîbut-Tahdzîb, karya Al-hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani (wafat tahun 852 H), yang merupakan ringkasan dan perbaikan dari Tahdzîbul-Kamâl karya Al-Hafidh Al-Mizzi; dan dia adalah kitab yang paling menonjol yang dicetak secara terus-menerus. Di dalamnya Ibnu hajar telah meringkas hal-hal yang perlu diringkas, dan menambah hal-hal yang terlewatkan di kitab asli, dan kitab Kitab Tahdzîbut-Tahdzîb adalah kitab paling baik dan paling detil.
5. Kitab Taqrîbut-Tahdzîb, karya Ibnu Hajar juga.
6. Kitab Lisânul-Mîzân, karya Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Atsqalani.

Penutup
Sebagai penutup, penulis menyimpulkan beberapa poin penting menyangkut jarh wa ta`dîl. Pertama, sanad merupakan karakteristik umat Islam, yang tidak ada di dalam umat-umat yang lain, seperti Yahudi dan Kristen. Maka wajar jika sanad dianggap sebagai “agama” itu sendiri. Kedua, tradisi sanad telah dibudayakan sejak zaman sahabat, dan dilanjutkan hingga hari ini. Dengan demikian, orisinalitas hadits Nabi saw. dapat dipertanggungjawabkan hingga hari kiamat. Keempat, al-jarh wa al-ta‘dîl merupakan usaha yang sangat ilmiah dan kritis dalam menilai pribadi seorang perawi. Oleh karena itu, para ulama` sangat hati-hati dalam membuat frame penilaian dan kritik. Wallâhu a`lam []